Mengikuti pola yang sama dengan tahun sebelumnya, penduduk Jabodetabek beberapa waktu lalu melaporkan kesulitan menemukan tempe atau tahu di pasar. Kedua komoditas tersebut semakin langka dan dicari-cari oleh banyak rumah tangga yang mengandalkannya sebagai bahan pokok.
Tempe dan tahu terkadang disebut sebagai “makanan rakyat” meskipun demikian pembuatannya bergantung pada impor kedelai, terutama dari Amerika Serikat. Lonjakan harga kedelai impor menjadi alasan para pengrajin tahu dan tempe melakukan pemogokan sehingga memicu kelangkaan bahan pokok tersebut. Harga kedelai impor, yang merupakan komponen utama kedua komoditas tersebut, telah meningkat dari sekitar Rp 7.000 menjadi lebih dari Rp 9.500 per kilogram, sehingga membebani pengrajin tempe dan tahu.
Menurut statistik dari Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai global pada minggu terakhir Februari 2022 sekitar US$16,86 per bushel, atau setara dengan US$624 per ton, naik dari US$13,15 per bushel atau setara dengan US$483. per ton pada minggu pertama Januari 2022. Kenaikan ini menghasilkan perkiraan harga pendaratan antara Rp. 8.500 dan Rp. 9.300 per kilogram (kg), dan perkiraan harga di tingkat importir sebesar Rp. 9.300 per kg. Harga tersebut lebih tinggi dibandingkan Desember 2021, ketika harga mendarat antara Rp 7.695-Rp 8.378 per kilogram, dan harga importir Rp 8.378 per kg.
Ketergantungan pada bahan baku impor dapat menimbulkan gejolak di industri tempe dan tahu lokal setiap kali negara asal mengalami gangguan, seperti penurunan output, seperti halnya kedelai impor. Permintaan global untuk kedelai dan penurunan output di negara-negara produsen adalah pendorong utama kenaikan harga kedelai impor.
Kementerian Perdagangan mengatakan harga kedelai di pasar independen global telah mencapai US$13 per gantang, level tertinggi dalam enam tahun. Dengan pemikiran tersebut, pemerintah memandang penting untuk menetapkan peraturan untuk menjamin agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada Amerika Serikat sebagai satu-satunya sumber kedelai untuk memenuhi permintaan lokal.
Indonesia dapat menjajaki kerjasama dengan sejumlah negara produsen kedelai lainnya, antara lain Brasil, Argentina, Paraguay, India, Kanada, sejumlah negara Afrika, bahkan dengan Rusia dan Ukraina yang sedang bergejolak saat ini.
Produksi Skala Nasional
Mengejar negara produsen lain untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada kedelai yang dipasok AS mungkin menjadi salah satu cara untuk mengatasi lonjakan harga komoditas. Namun, itu hanya bisa menjadi solusi sementara untuk kekurangan pasokan kedelai negara, yang terjadi setiap tahun di Indonesia.
Kekurangan kedelai dalam negeri dapat diatasi dengan meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri. Ini akan menghilangkan ketergantungan industri pada impor. Swasembada kedelai semakin signifikan, terutama untuk pemanfaatannya sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu yang permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut BPS, kebutuhan kedelai nasional saat ini 2,8 juta ton per tahun, namun pasokan lokal hanya 800.000 ton per tahun. Pemerintah berniat memproduksi 420 ribu ton kedelai pada 2021. Sekitar 70% produksi kedelai dalam negeri digunakan untuk membuat tempe, 25% untuk tahu, dan sisanya untuk bahan makanan lainnya. Indonesia swasembada produksi kedelai pada tahun 1992, dengan produksi 1,8 juta ton. Jika kapasitas produksi tahunan Indonesia pulih, impor kedelai bisa dikurangi menjadi hanya satu juta ton.
Mengingat rendahnya hasil kedelai per hektar di perkebunan, perlu adanya intervensi pemerintah dalam meningkatkan produktivitas dan meningkatkan output nasional ke titik di mana Indonesia dapat mencapai swasembada produksi kedelai.
Tantangan Yang Dihadapi
Petani dalam negeri telah membudidayakan kedelai di dalam negeri dalam jangka waktu yang cukup lama, namun outputnya belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Banyak kendala yang dihadapi, antara lain budidaya kedelai kurang berdaya saing dibandingkan komoditas pangan lainnya, khususnya beras yang merupakan makanan pokok sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Selain produktivitas, harga jual petani dipandang sebagai salah satu komponen pertumbuhan industri kedelai lokal. Faktor-faktor ini berkontribusi pada kurangnya stabilitas pasar komoditas dibandingkan dengan barang makanan lainnya.
Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, mengatakan bahwa meningkatkan produksi kedelai bukanlah tugas yang mudah, mengingat status tanaman saat ini sebagai tanaman perantara antara tanaman utama seperti beras, jagung, tebu, tembakau, dan bawang merah. Hal ini menjadi kendala bagi petani yang ingin meningkatkan produksi kedelai, karena mayoritas petani lebih memilih menanam komoditas lain dengan kepastian pasar yang lebih baik. Akibatnya, aturan atau insentif harus diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong petani menanam lebih banyak kedelai dan memberikan keyakinan kepada mereka bahwa hal itu akan menguntungkan bisnis dan mata pencaharian mereka.
Kementerian Pertanian telah melakukan inisiatif untuk meningkatkan produksi kedelai lokal. Tahun ini, Kementerian telah memberikan sembilan ribu hektar lahan di Sulawesi Utara, tiga puluh ribu hektar di Sulawesi Barat, dan sembilan ribu hektar di Sulawesi Selatan untuk dukungan pengembangan kedelai. Selain itu, Kementerian Pertanian juga telah mengembangkan hubungan hilir dan pasar untuk industri tahu dan tempe bekerja sama dengan petani di Jawa Tengah, di mana luas kedelai 15.000 hektar, Jawa Timur (15.000 hektar), dan Nusa Tenggara Barat (4 ribu hektar).
Terlepas dari upaya kementerian, terdapat ruang yang luas bagi kerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya seperti pelaku UMKM yang dapat terlibat dalam mempromosikan pengembangan industri kedelai lokal. Melalui upaya tersebut, output kedelai dapat ditingkatkan dan harga produksi diturunkan secara progresif, tanpa perlu impor. Dengan kata lain, produksi kedelai dalam negeri harus kompetitif biaya dan kualitas.
Pemerintah perlu melakukan berbagai langkah legislasi dan memaksimalkan sarana dan prasarana yang ada untuk membantu Indonesia mencapai swasembada kedelai. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya dapat memenuhi permintaan kedelai, tetapi juga komoditas pangan lainnya seperti beras, jagung, dan bawang putih tanpa bergantung pada impor.
Dalam jangka panjang, Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri untuk menjamin stabilitas pangan negara tidak terganggu oleh kendala produksi di negara lain.
*Penulis merupakan Bendum DPP GARPU