Rasulullah Muhammad SAW pada dasarnya telah menunjukkan betapa masjid bukanlah semata sebagai sarana dan wahana dalam beribadah. Rasulullah sejak lama telah memberikan bukti yang nyata betapa dakwah-dakwahnya selalu mendorong berbagai perubahan besar dan universal. Salah satu contohnya yakni pendirian Masjid Quba di Madinah, yakni masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Masjid yang didirikan pada 8 Rabiul Awwal atau 23 September 622 sebagaimana beberapa catatan ilmiah tidak saja dibangun sebatas sebagai fasilitas ibadah saja. Di atas lahan seluas 1.200 meter per segi ini, Masjid Quba juga dioptimalkan oleh Rasulullah dan para sahabat sebagai pusat pengembangan peradaban umat. Di masjid ini, Rasulullah dan para sahabat mendorong dan mendiskusikan berbagai strategi perang hingga upaya pengembangan ekonomi umat.
Sungguh sebuah praktik yang sangat revolusioner. Secara tidak langsung Rasulullah menjadikan masjid sebagai sebuah ekosistem yang terjamin keamanannya. Telah terverifikasi orang-orangnya. Telah dipastikan orang-orangnya tidak sekadar baik secara budi pekerti dan agama, namun juga totalitas dalam berjuang baik dalam medan perang maupun dalam kontribusinya terhadap pengembangan ekonomi Islam saat itu.
Saat ini, pendekatan-pendekatan revolusioner yang ditunjukkan oleh Rasulullah Muhammad SAW tersebut sesungguhnya telah diadopsi oleh berbagai lembaga. Istilah wirausaha berbasis masjid adalah metoda pengembangan sektor ekonomi yang mengadopsi pendekatan tersebut. Secara harfiah, wirausaha berbasis masjid bermakna pengembangan kewirausahaan dengan menjadikan eksosistem masjid sebagai subjek utama. Entah itu komponen ekosistem masjid sebagai pelaku usaha, sebagai konsumen, sebagai promotor, hingga sebagai penjamin daripada pelaku-pelaku usaha itu sendiri.
Dari amatan saya, sejumlah stakeholder perbankan telah menjalin kerjasama dengan berbagai pengurus masjid di beberapa tempat. Sebut saja seperti program kemitraan Bank Syariah Indonesia (BSI) dengan pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Semarang, Jawa Tengah pada pertengahan Januari 2022 lalu. Di Provinsi NTB, BI juga melakukan hal yang sama. Tepatnya pada Juli 2021 dengan menggelar beberapa pelatihan kewirausahaan hingga penyediaan akses permodalan.
Tentu tidak saja di dua daerah tersebut. Program-program kewirausahaan juga dilakukan di beberapa daerah lainnya. Hanya saja dalam amatan saya, lembaga-lembaga keuangan baik milik pemerintah maupun swasta tidak begitu serius menggarap pendekatan ini. Pihak lembaga keuangan justru terkesan bermain aman dengan mengandalkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang pembiayaannya difasilitasi dan dijamin oleh pemerintah.
Dari program KUR sendiri, pemerintah telah menyodorkan berapa klasifikasi pembiayaan seperti KUR Super Mikro dengan limit Rp 10 Juta, KUR Mikro dengan limit Rp 50 Juta, KUR Kecil dengan plafon di atas Rp 50 Juta, KUR Khusus dengan plafon mencapai Rp 500 juta, dan KUR Penempatan TKI dengan limit hingga Rp 25 juta.
Harusnya di luar kategori pembiayaan tersebut, para lembaga keuangan mampu melakukan inovasi pembiayaan khusus, yakni berbasis masjid dengan pola pendampingan yang berkelanjutan. Selain dibedakan oleh angka plafon pembiayaannya yang harus lebih beragam, fasilitas wirausaha berbasis masjid juga harus dibarengi dengan pola-pola pembinaan yang berjenjang dan protektif dengan kemudahan administrasi tersendiri, termasuk adanya pembiayaan tanpa jaminan aset fisik.
Kendatipun terdengar begitu beresiko, harusnya pihak perbankan dapat berkolaborasi dengan berbagai komponen masyarakat. Tidak saja Dewan Masjid Indonesia (DMI) sebagai perkumpulan pengurus masjid di seluruh Indonesia, pihak perbankan juga dapat melibatkan komponen-komponen lainnya sebagai penjamin usahanya. Tentu dengan tetap mempertahankan komponen masjid sebagai dasar penjaminannya. Yakni orang-orang yang telah terverifikasi konsistensi dan komitmennya dalam tatanan sosial dan keagamaan dengan penilaian key performance indicator (KPI) yang disusun secara khusus dan kredibel.
Yang tidak kalah penting, perbankan tidak boleh lepas diri sebatas pada pembiayaan dan upgrading semata. Pihak perbankan juga wajib mendorong adanya peningkatan daya jual dari produk atau jasa yang dikelola oleh para wirausahawan berbasis masjid tersebut. Entah itu berupa promosi di area-area produktif, even-even daerah dan nasional, hingga mendorong para wirausahawan berbasis masjid untuk berkiprah di segmen-segmen pasar internasional. Dorongan-dorongan yang demikian tentu akan mempermudah para wirausahawan untuk memperbaiki catatan transaksi pengembalian kreditnya.
Kita jelas tidak berharap program-program revolusioner seperti wirausaha berbasis masjid hanya dipakai sebatas sebagai lipstik dan pemanis kegiatan semata. Implementasi wirausaha berbasis masjid harus terus dilakukan secara kontinu dengan mengubah berbagai pendekatan usaha agar benar-benar dapat dijalankan serasional mungkin. Kita berharap besar pada perbankan agar lebih ekploratif dalam mendorong penguatan UMKM melalui wirausaha berbasis masjid.
Besar harapan masjid benar-benar mampu memfilter calon-calon wirausaha baru yang layak diberikan kepercayaan untuk menggapai kesejahteraan. Dan kepercayaan yang diberikan masjid harus dirawat dengan memastikan usahanya dapat bertahan di tengah segala tekanan ekonomi yang ada. Dan itu hanya bisa kita lakukan bersama-sama. Dengan kolaborasi semua pihak. Termasuk komponen perkumpulan pedagang dan UMKM yang ada di seluruh Indonesia. Harus bisa! []
*Penulis merupakan Dewan Pakar DPP Partai Nasdem dan Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP GARPU